Dalam rangka turut mendorong tata kelola pemerintahan yang transparan, kredibel dan akuntabel, Prodi S2 Magister Ilmu Ekonomi FEB Unair bekerjasama dengan Transparency International Indonesia menyelenggarakan Seminar Publik: "Sosialisasi Pelaksanaan Stranas PPK Melalui Penguatan Sistem Integritas Pelayanan Publik dan Sektor Swasta di Kota Surabaya". Seminar ini diselenggarakan pada 4 Mei 2014 di Hotel Mercure Surabaya.
Turut hadir sebagai narasumber dalam seminar ini adalah Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Sekjen TII Dadang Trisasongko, Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK), Kantor Staf Presiden (KSP) dan Kementrian PPN RI.
"Kota Surabaya berhasil mengkombinasikan Indeks Persepsi Korupsi Tinggi dan Sistem Integritas Lokal Baik. Kota Surabaya bisa menjadi pusat pembelajaran bersama implementasi sistem integritas lokal sebagai strategi baru pemberantasan korupsi di tingkat kabupaten/kota," Demikian dikatakan oleh Dadang Trisasongko, Sekjen TII
Korupsi memiliki dampak sosial, ekonomi, keuangan, politik, yang sangat besar. Ketimpangan pendapatan adalah dampak nyata atas kasus korupsi. Korupsi tidak hanya menghambat akses kelompok tertentu terhadap akses sumber finansial. Korupsi menghambat distribusi kesejahteraan, sehingga kesejahteraan hanya dinikmati oleh kelompok tertentu.
"Korupsi berdampak langsung terhadap praktik bisnis yang adil. Sebanyak 1 dari 10 responden survei mengaku kalah tender karena kompetitor melakukan suap. Biaya penyuapan mencapai 6.5% total biaya tahunan, " kata Wahyudi M Tohar, Manajer Program Tata Kelola Ekonomi, Transparency International Indonesia (TII).
Dalam upaya mengefektifkan pemberantasan korupsi pemerintah mentargetkan CPI sebesar 50 di akhir 2016. Corruption Perception Index (CPI) merupakan indikator yang digunakan oleh banyak negara untuk menilai efektivitas pemberantasan dan pencegahan korupsi. Skor CPI berada pada rentang 0-100. 0 berarti sangat korup, 100 berarti sangat bersih.
Transparency International Indonesia (TII) melakukan pengukuran CPI di level kota secara reguler. Dan, mendorong implementasi Sistem Integritas Lokal (SILOKA) untuk mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi di level lokal. Implementasi SILOKA diharapkan diharapkan dapat mendorong implementasi Sistem Integritas Nasional (SIN) sebagai strategi untuk mencapai target CPI di tingkat nasional.
"Indeks Persepsi Korupsi 2015 untuk Kota Surabaya sebesar 65. Dengan skor tersebut, maka Kota Surabaya dapat digolongkan sebagai kota yang "bersih". Capaian IPK Surabaya yang tinggi tersebut dibarengi pula oleh sistem integritas lokal Kota Surabaya yang juga bekerja dengan baik. Masing-masing pilar sistem integritas lokal memiliki kapasitas, efektivitas, tata kelola, dan peran yang tinggi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa bekerjanya sistem integritas lokal yang baik akan berkontribusi dalam mewujudkan kota yang bersih dari praktek korupsi. Kondisi ini tentu akan menjadi fondasi yang kuat bagi Kota Surabaya untuk menjadi kota yang berdaya saing dan tumbuh secara berkesinambungan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. " ungkap Wisnu Wibowo, Kaprodi Magister Ilmu Ekonomi, Universitas Airlangga.
Dalam hal ini, Pilar sistem integritas lokal terdiri dari Kepala Daerah, Birokrasi, Legislatif, Penegak Hukum (Pengadilan, Kepolisian, dan Kejaksaan), Lembaga Kuasi Negara (Komisi Informasi dan Ombudsman), Lembaga Audit Negara, dan Lembaga Non Pemerintah. (wis)